“Dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada), pemilih seperti makan buah simalakama. Dimakan mati ibu, tidak dimakan mati bapak,” ungkap seorang teman. Dia melontarkan isi pikirannya setelah mengamati dari hasil pilkada sebelumnya. Hampir sulit menemukan pemimpin daerah yang betul-betul memikirkan rakyatnya. Janji-janji semasa kampanye hanya tinggal janji. Realisasinya minim. Malah ada kesan, kalian yang memilih, kami yang menikmati. Kepentingan masyarakat terkadang atau sering menjadi urutan nomor sekian. Sebaliknya, kepentingan “pribadi” atau kelompoknya menjadi prioritas.
Sebelum terpilih, para calon rajin menyambangi masyarakat, blusukan ke pasar, ke komunitas-komunitas keagamaan, bahkan dari pintu ke pintu, dengan senyum mengembang dan menampilkan citra seorang hamba yang siap melayani. Memberikan “harapan”, dirinya siap 24 jam untuk membangun daerahnya. Motifnya maju dalam pilkada adalah untuk memajukan dan mensejahterakan daerahnya. Intinya, dirinya yang “terbaik” untuk memimpin daerahnya.
Tahun ini, Pilkada serentak akan digelar pada 9 Desember mendatang. Pilkada ini akan diselenggarakan di 270 daerah, meliputi 9 provinsi, 37 kota, dan 224 kabupaten. Siklus memilih pemimpin ini kembali berputar.
Berbagai pesan dari kalangan pemerintahan, tokoh masyarakat, dan agama telah mencuat. Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian menegaskan, Pilkada serentak Tahun 2020 harus menjadi momentum penting untuk memilih pemimpin yang kuat. Pemimpin yang sah, yang dipilih rakyatnya. Pemimpin yang juga diharapkan mampu menangani krisis akibat pandemi Covid-19 dan dampak sosial ekonominya. Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengingatkan masyarakat agar memilih pemimpin yang bermoral di Pilkada tahuan 2020 ini. Kepemimpinan di 270 daerah pada lima tahun ke depan ditentukan oleh ketepatan memilih masyarakat. Lembaga Pilkada Watch berharap dengan adanya keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan Pilkada tahun 2020 ini, bisa melahirkan pemimpin berkualitas di tengah pandemi Covid-19. Calon kepala daerah bukan yang memberikan “serangan fajar”, tetapi yang diharapkan mampu memberikan solusi terhadap dampak COVID-19 di daerah masing-masing.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melayangkan slogan “Pilih Yang Jujur, Yang Jujur Dipilih”. Pilihlah calon kepala daerah yang berintegritas, cakap, dan amanah. Melalui slogan kali ini, KPK memberdayakan masyarakat menjadi pemilih yang cerdas dan berintegritas dalam memilih calon kepala daerah.
Bagaimana dengan Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) ? Sejak awal, LDII telah menyatakan sebagai organisasi kemasyarakatan keagamaan yang independen. LDII bukan onderbouw , cabang dari suatu partai atau perserikatan lainnya. Karena itu, dalam Pilkada ini dan sebelumnya, LDII bersikap netral aktif. Netral dalam pengertian LDII tidak di bawah atau berpihak pada salah satu partai atau kandidat yang diusungnya. Ada pun aktif dalam pengertian mendorong warga LDII untuk memilih sebagaimana menjalankan hak konstitusionalnya dalam Pilkada ini.
Bila ada siapa pun yang mempublikasikan, yang mengatasnamakan LDII, menyampaikan ke publik melalui media massa, bahwa LDII telah berkomitmen kepada salah satu pasangan calon dalam Pilkada ini, maka boleh dikatakan bahwa itu adalah bukan sikap resmi dari LDII. Karena, berkali-kali Penjabat Ketua Umum LDII, Chriswanto Santoso dalam berbagai kesempatan menegaskan bahwa posisi LDII secara kelembagaan bersikap netral.
Ada pun warga LDII didorong untuk menggunakan hak pilihnya sesuai dengan tata cara perundang-undangan yang berlaku.
Untuk memilih pemimpin, bagi LDII, tentu yang sejalan dengan visi dan misi organisasi. Sebagai lembaga dakwah, harapannya, siapa pun yang terpilih, turut secara langsung atau tidak langsung mendukung, membantu, kalau bisa memfasilitasi kemajuan gerak langkah LDII.
Untuk itu, perlu mengetahui rekam jejak para sang calon pemimpin itu. Tentu tujuannya antara lain, yang terpilih kelak adalah putra/putri terbaik. Karena, pemimpin itu akan mewarnai bagaimana kemajuan dan kesejahteraan rakyat di daerahnya. Kualitas, kekuatan, visi pemimpin itu akan mempengaruhi apakah di daerah itu akan terwujud kerukunan, kesatupaduan gerak untuk kemajuan, atau sebaliknya; kemerosotan, berantakan, atau bahkan chaos.
Ketika saya masih aktif di lapangan sebagai wartawan, saya melihat “kemampuan dan dedikasi” pemimpin membawa daerahnya berkembang. Di situ ada kepemimpinan yang teruji dan terbentuk. Suatu ketangguhan. Terjun dalam Pilkada bukan sekedar mendapatkan posisi. Itu sebuah, kalau boleh dikatakan, panggilan. Pemimpin itu tahu apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang tidak. Yang pantas dan tidak pantas.
Kini dengan kondisi pandemi Covid-19, calon pemimpin dituntut memiliki solusi dan jawaban kreatif kepada tantangan tersebut. Bukan sekadar akan melakukan ini dan itu. Atau “meramal” bila kelak terpilih daerah ini akan begini dan begitu. Tapi “berani, sekali lagi berani, dan selalu berani, mengambil kebijakan yang membawakan kebaikan dan kemashalatan bagi semua pihak”. Tinggal pemimpinnya membujuk dan “membakar” semangat warganya untuk bersama-sama bersinergi termasuk dengan ormas-ormas maupun para pemangku kepentingan lainnya, membangun daerahnya. Tidak sekadar melontarkan kata-kata. Tapi ia juga dengan sungguh-sungguh melaksanakan apa yang dikatakannya.
Tentu politik selalu bergerak dan dinamis. Di sini kita akan menjumpai aneka ragam manusia dan dengan segala macam latar belakangnya. Namun kita harus tetap optimis, siapa pun yang terpilih, warga LDII tetap dan harus tetap bisa rukun, kompak, kerja sama yang baik, dan mendukung siapa pun yang terpilih.
LDII sudah menetapkan agar warganya aktif memilih. Menggunakan hak pilih adalah salah satu kontribusi warga LDII untuk bangsa.